Kamis, 18 Juli 2013




SOAL JAWAB SEPUTAR NIAT PUASA (Pertanyaan 1)


rembulan











Pertanyaan 1:
Apakah harus membermalamkan niat puasa (niat puasa sejak waktu malam)?
Jawab:
Untuk puasa wajib maka membermalamkan niat puasa adalah keharusan, menurut pendapat jumhur para ulama’ antara lain Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Syaikhul Islam, Ibnu Qudamah, Ashon’ani, Asy Syaukani, dll.
Dalilnya antara lain adalah hadits Hafshoh, dikeluarkan oleh Abu Dawud (2454), At Tirmidzi (370), An Nasa’i (2331), Ibnu Majah (1700), bahwa Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
                                                                         
                             وَعَنْ حَفْصَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa yang tidak membermalamkan puasa (niat puasa) sebelum terbit fajar maka tidak ada puasa baginya.”

Hadits ini yang rajih adalah mauquf sampai Hafshoh, dan datang juga mauquf sampai Ibnu ‘Umar -radhiyallahu‘anhuma-.
Adapun untuk puasa sunnah maka tidak wajib berniat sejak malamnya, artinya puasanya sah kalau puasa sunnah tersebut niatnya dari siang, selama belum makan minum dan pembatal puasa lainnya, dengan dalil hadits ‘Aisyah -radhiyallahu‘anha-, beliau berkata: “Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam- pernah menemuiku pada suatu hari, beliau bertanya, “Apakah ada suatu makanan pada kalian?”, kami menjawab: “Tidak ada”, beliau berkata: “Kalau demikian maka aku puasa.” (HR. Muslim), dalam shohih Abi ‘Awanah dengan lafadz: “Maka aku akan puasa”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Syahrul Umdah, “Ini menunjukkan bahwa beliau mulai puasa kala siang.”
Dalilnya juga adalah perbuatan para shohabat yang mereka mulai puasa sunnah dari siang, diantaranya: Abu Darda, Abu Tholhah, Hudzaifah, Ibnu Mas’ud, Anas, Muadz Ibnu Jabal, sebagaimana disebutkan dalam Mushonnaf Abdurrozaq (4/272-273), Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah (3/28-31), Syahrul Ma’ani karya At Thohawi (2/56). Ini juga menjadi pendapat: Syaikh Al Albani, Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin -rahimahumallah-. Wallahu A’lam Bishowab.

                                                                             Al Ustadz Abu Abdillah Muhammad Rifa’i
                                                         Akhir Sya’ban 1434 H, Ma’had Daarus Salaf Al Islamiy Bontang
  




(736) views
Read More ->>

Bimbingan Ulama Dalam Menyikapi Anak-Anak yang Bermain-main (Membuat Gaduh) Saat Shalat di Masjid



silent please











PADA UMUR BERAPA ANAK DIBAWA KE MASJID?

 FATWA SYAIKH IBNU UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
S: Seseorang dari Negeri Sudan bertanya: Apakah boleh seseorang pergi ke masjid bersama anak-anaknya yang masih kecil yang berumur belum sampai 4 tahun?
 
J: Anak-anak yang umurnya belum sampai 4 tahun, umumnya tidak bagus ketika sholat, karena mereka belum tamyiz. Umur tamyiz biasanya 7 tahun. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk menyuruh anak-anak kita sholat, jika mereka telah sampai pada umur ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 ((مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ أَوْ أَبْنَاءَكُمْ بِالصَّلاَةِ لسَبْعٍ))
“Perintahlah anak-anak kalian untuk sholat pada umur 7 tahun!”
 
Jika anak-anak yang berumur 4 tahun ini tidak bisa sholat dengan baik, maka tidak sepantasnya orang tuanya membawa mereka ke masjid, kecuali ketika ada perkara dharurah (sangat mendesak), seperti kalau tidak ada di rumahnya seorangpun yang menjaga anak kecil ini. Maka dia membawanya dengan syarat anak tadi tidak mengganggu orang-orang yang sholat. Jika anak itu mengganggu orang-orang yang sholat, janganlah orang tuanya membawanya.
 
Jika anak kecil itu butuh untuk ditemani di rumah, dalam keadaan ini orang itu diberi udzur untuk meninggalkan jama’ah, karena dia tidak ikut jamaah karena udzur, yaitu menjaga anak.
(Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darb No. 643, Al-Maktabah Asy-Syamilah)
———————————

HUKUM MEMBAWA KE MASJID ANAK YANG MENGGANGGU

FATWA SYAIKH IBNU UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
S: Apa hukum membawa anak-anak kecil ke masjid, jika mereka mengacaukan orang-orang yang sholat?
J: Tidak boleh membawa anak-anak ke masjid jika mereka mengacaukan orang-orang yang sholat, karena (suatu ketika) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menuju para shohabatnya saat mereka sedang sholat, dan mereka mengeraskan suara, kemudian beliau bersabda:
((لاَ يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقُرْآنِ، أَوْ قَالَ: فِي الْقِرَاءَةِ))
“Janganlah sebagian kalian mengeraskan atas yang lain dalam membaca al-qur’an atau dalam bacaan.” (HR. Ahmad 2/36)
Jika mengacaukan orang sholat dilarang, padahal dalam membaca al-qur’an, maka bagaimana pendapatmu dengan main-mainnya anak-anak kecil?!
Namun jika anak-anak itu tidak mengacaukan, maka mengajak mereka ke masjid adalah perkara yang baik. Karena hal itu melatih mereka untuk menghadiri sholat jamaah dan membuat mereka mencintai masjid dan membuat mereka terbiasa ke masjid.
(Majmu’ Fatawa Wa Rosail Ibni Utsaimin (12/325))
———————————

BAGAIMANA BILA ANAK-ANAK GADUH KETIKA SHOLAT?

FATWA SYAIKH IBNU UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
S: Ya Syaikh, kadang terjadi di masjid kegaduhan sebagian anak-anak kecil. Apakah boleh seorang makmum memutus sholatnya untuk melarang hal itu, atau untuk menoleh saja agar anak-anak itu kecil itu tahu sedang dimarahi setelah itu?
J: Pertama: wajib atas para wali anak-anak itu untuk takut kepada Allah ‘azza wa jalla, dan janganlah mereka membiarkan anak-anak mereka untuk hadir di masjid selama mereka masih bermain-main. Jika ditaqdirkan anak-anak itu datang tanpa pengetahuan bapak-bapak mereka, sebagaimana yang terjadi kadang-kadang, maka wajib dilaporkan kepada bapaknya jika anaknya ada di masjid: “Ya fulan, ajak anakmu, bawa pulang dia ke rumahmu.”
Jika kita tidak mampu dan kita tidak bisa mencegah gangguan anak-anak kecuali dengan mengeluarkan mereka dari masjid, maka kita mengeluarkan mereka.
Sedangkan memutus sholat karena hal itu, maka itu tidak boleh, karena seseorang jika telah masuk dalam satu perkara fardhu, maka dia wajib menyempurnakannya. Dan kegaduhan anak-anak kecil itu tidak menyebabkan rusaknya sholat orang lain. Kalau sampai menyebabkan rusaknya sholat orang lain, maka untuk melakukan perkara itu perlu diteliti lagi. Namun kegaduhan anak-anak itu tidak menyebabkan kerusakan sholat orang lain, maka hendaklah mereka bersabar sampai sholatnya selesai, kemudian kenalilah anak-anak itu, dan hubungilah bapak-bapak mereka.
Sedangkan menoleh (dalam sholat) untuk sebuah kebutuhan tidak apa-apa. Namun menoleh dengan wajah saja, tidak dengan badan keseluruhannya. Dan anak-anak itu kadang bisa diperbaiki dengan menenangkan mereka, dikatakan: “Wahai anak-anakku, ini tidak boleh. Ini adalah rumah Allah. Sedang mereka itu bapak-bapak kalian dan saudara-saudara kalian, kalian jangan membuat mereka gelisah dan janganlah kalian merusak sholat mereka.”
(Transkrip Liqo’ Al-Bab Al-Maftuh: Pertemuan 94 ke No. 17, Al-Maktabah Asy-Syamilah)
———————————–

SOLUSI BAGI ANAK-ANAK YANG BERMAIN-MAIN DALAM SHOLAT 

FATWA SYAIKH IBNU UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
S: Jika didapati anak-anak di masjid banyak bermain-main dan mereka membuat orang-orang yang sholat tidak konsentrasi dalam sholat mereka, apakah boleh aku untuk berkata kepada salah seorang anak kecil untuk menoleh ketika sholat dan memberi tahu kepada kami siapa yang bermain-main dalam sholat, sehingga kami bisa memberi tahu wali anak-anak itu?
J: Apakah diterima persaksian seorang anak kecil? Intinya: wajib untuk meneliti ulang apakah mungkin untuk menerima persaksian sebagian anak-anak dalam hal anak-anak yang lain, karena sebagian ulama berpendapat: “Tidak diterima persaksian sebagian anak-anak dalam hal anak-anak yang lain.” Sedang sebagian ulama yang lain berpendapat: “Diterima persaksian mereka selama mereka berada di tempat itu.”
Contohnya: Salah seorang dari anak-anak itu dilukai, kemudian dia berkata kepada bapaknya: “Ini dia yang melukaiku.” Kemudian anak (yang dituduh) itu mengingkari dan berkata: “Aku tidak melukainya.” Namun kemudian ada dua anak lain menyaksikan bahwa memang dia yang melukai anaknya. Sebagian ulama berpendapat: “Tidak diterima persaksian anak-anak.” Sebagian yang lain berpendapat: “Jika mereka belum berpisah maka diterima, namun jika mereka telah berpisah maka tidak diterima.” Karena kadang mereka didikte saja.
Bagaimanapun keadaannya, kami berpendapat agar engkau berbicara –jika engkau seorang imam- dengan ucapan yang umum. Engkau mengatakan kepada jamaah masjid: “Jazakumullah khoiron. Anak–anak jika mengganggu orang-orang yang sholat dan mereka meremehkan masjid, maka dosanya atas kalian. Maka hendaknya setiap orang menjaga anaknya dan melatihnya dengan adab.”
Dan mungkin menunjuk salah seorang dari anak-anak itu yang bisa dipercaya untuk menjaga anak-anak itu, meskipun dia tidak sholat, karena anak itu tidak wajib untuk sholat.
Dan jangan engkau mengatakan kepada anak itu: “Tolehlah!” Agar tidak ada yang menyangka bahwa menoleh (dalam sholat) itu tidak apa-apa.
(Transkrip Liqo’ Al-Bab Al-Maftuh: Pertemuan 40 ke No. 16, Al-Maktabah Asy-Syamilah)
——————————-

HUKUM SHOLAT ANAK YANG BERUMUR KURANG DARI 15 TAHUN DI RUMAH 

FATWA SYAIKH IBNU UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
S: Ya Syaikh, apa hukum sholat anak kecil yang berumur kurang dari 15 tahun di rumah, karena kadang dia mengganggu orang-orang yang sholat dan bermain-main dengan teman-temannya, atau yang seperti ini?
J: Yang disyariatkan anak-anak kecil itu hadir di masjid dan sholat bersama orang-orang, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
((لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُوْلُوا اْلأَحْلاَمِ وَالنُّهَى))
“Hendaklah orang yang di belakangku dari kalian adalah orang-orang yang dewasa dan berakal.”
Ini menunjukkan bahwa di sana ada anak-anak kecil. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang-orang dewasa untuk maju dan untuk datang lebih dulu dan mengambil tempat-tempat yang utama. Maka sholatnya anak-anak di masjid termasuk dari sunnah. Tidak sepantasnya kita berbuat perkara yang membuat mereka lari dari masjid, sebagaimana yang dilakukan sebagian orang jika melihat seorang anak kecil yang belum baligh berada dalam shof, dia mengusirnya dan membentaknya. Ini tidak diragukan lagi menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dibangun di atas kelembutan dan kemudahan.
Kami berpendapat: Biarkan anak itu di tempatnya, meskipun dia berada di shof pertama, walaupun dia berada di belakang imam, biarkan dia.
Namun bila dia bermain-main dan tidak mungkin untuk mengajari adab kepada mereka, maka di sini kita mengeluarkan mereka dari masjid.
Namun di sana ada jenjang-jenjang sebelum mengeluarkan mereka dari masjid, yaitu: berbicara kepada para wali mereka, sehingga tidak ada pada diri mereka sesuatu (prasangka) atas kita kalau kita mengeluarkan anak-anak itu. Kita berbicara kepada para wali dan berkata: “Anak-anak ini masih kecil, mereka tidak menghormati masjid, tidak menghormati jamaah. Kalau engkau meninggalkan mereka sampai mereka bisa sedikit berlaku baik, maka itu lebih baik.”
(Transkrip Liqo’ Al-Bab Al-Maftuh: Pertemuan 74 ke No. 8, Al-Maktabah Asy-Syamilah)
Sumber : bimbingan-islam


(553) views
Read More ->>

Shalat Tarawih 11 rakaat atau 23 rakaat?
ramadhan new












Tanya:Bismillah. Afwan nanya ustadz. Ana mewakili ikhwan yang sedang umrah. Mereka bertanya shalat tarawihnya sebaiknya ikut imam 23 rakaat atau ambil yang 11 rakaat saja. Jazakallah khaer.
Tanya:Bismillah, menyambung pertanyaan tersebut bagaimana hukumnya jika tarawih 11 rakaat berjamaah di masjid,namun sholat witirnya di rumah. Jazakallahu khaer.
Jawab:Maasyaral ikhwah rahimakumullah, shalat tarawih yang merupakan nama yang khusus berkenaan tentang qiyamul lail yang dilakukan di malam hari di malam-malam ramadhan ini adalah merupakan shalat sunnah.
Shalat yang disunnahkan oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam. Sehingga yang namanya shalat sunnah, seseorang mengerjakan apakah di masjid atau dia mengerjakannya di rumahnya maka silahkan. Dia boleh mengerjakan yang ini yang itu, yang terpenting bagi dia adalah menyibukkan dirinya beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Meskipun wallahu ta’ala a’lam nanti akan kita bahas pada saat kita memasuki pembahasan tentang shalat tarawih bahwa mengerjakan shalat tarawih di rumah itu lebih afdhal berdasarkan keumuman hadits nabi shalallahu alaihi wa salam:
عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: صَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ فَإِنَّ أَفْضَلَ صَلَاةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوْبَةَ
Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Wahai manusia (kaum muslimin, pent), sholatlah kalian di rumah-rumah kalian, karena shalat seseorang yang paling afdhal (lebih utama) itu dikerjakan di rumahnya, kecuali shalat fardhu.” (Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh An-Nasaa-i III/198, dan ditakhrij oleh Al-Albani dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah nomor: 1508).
Ini permasalahan yang pertama.
Kemudian apabila seseorang ingin mengerjakan shalat di masjid, ini juga bagian dari sunnah rosul shalallahu alaihi wa salam, sempat dihidupkan di zaman rasulullah alaihi shalatu wa salam lalu kemudian nabi shalallahu alaihi wa salam menghentikan shalat tarawih karena beliau mengkhawatirkan jangan sampai dianggap menjadi sesuatu yang wajib, sehingga sempat terhenti lalu kemudian dihidupkan kembali di zaman Umar bin Khatab radiyallahu anhu lalu beliau mengatakan:
نِعْمَ الْبِدْعَة هَذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini (tarawih berjamaah).” (HR. Bukhari)
Yakni seakan-akan ini merupakan amalan yang baru saja dilakukan padahal ini telah diamalkan di zaman rasulullah shalallahu alaihi wa salam.
Berkenaan tentang jumlah rakaat pada shalat tarawih terjadi perselisihan pada masa-masa belakangan ini di kalangan para fuqaha. Meskipun dahulu tidak diketahui ada perselisihan di kalangan para ulama. Diperbolehkannya seorang menambah lebih dari 11 rakaat meskipun yang afdhal mengerjakan shalat seperti yang dikerjakan oleh nabi shalallahu alaihi wa salam. Kata Aisyah radiyallahu anha:
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat (lail) baik di dalam bulan ramadhan maupun di luar ramadhan tidak pernah lebih dari 11 rakaat.” (HR. Al-Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)
Maka yang afdhal jika memungkinkan mengerjakan shalat 11 rakaat, tanpa terburu-buru, menjalankan tuma’ninahnya sebagaimana diamalkan oleh nabi alaihi shalatu wa salam. Namun untuk menetapkan bahwa lebih dari 11 rakaat adalah bid’ah ini adalah merupakah hal yang sulit, meskipun diucapkan oleh sebagian para ulama di masa sekarang ini.
Namun para fuqaha terdahulu, mereka tidak ada yang mengatakan bid’ah. Sebab nabi alaihi shalatu wa salam tidak pernah membatasi shalat lail. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Abdullah bin Umar tatkala ada seorang datang kepada nabi alaihi shalatu wa salam bertanya kepada beliau tentang shalat lail. Kata nabi shalallahu alaihi wa salam:
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ
“Shalat malam itu dua raka’at-dua raka’at, jika kamu takut masuk waktu shubuh maka witirlah satu raka’at.” (HR. Muslim no.749)
Maka disini nabi alaihi shalatu wa salam mengatakan bahwa shalat lail itu dua rakaat-dua rakaat. Beliau tidak mengatakan jika sampai 11 rakaat maka berhenti kalian. Nabi shalallahu alaihi wa salam tidak membatasi sehingga apabila seorang mengerjakan lebih dari 11 rakaat, ia mengerjakan 20 rakaat atau 30 rakaat atau bahkan 40 rakaat silahkan untuk menghidupkan malam-malam ramadhan tidak mengapa insya Allahu Ta’ala. Dan para ulama membolehkan hal tersebut.
 
Lalu bagaimana misalnya jika seorang ingin menghadiri shalat jama’ah di masjid, shalat tarawih yang mengerjakan shalat 23 rakaat. Apakah mengambil 11 rakaatnya saja lalu meninggalkan yang lainnya? Wallahu Ta’ala a’lam apabila dia ingin mengerjakan 11 rakaat, dia mencari jamaah yang mengerjakan 11 rakaat. Kalau dia mendapatkan masjid yang disana mereka mengerjakan shalat 20 rakaat ataukah 23 rakaat, maka tidak mengapa bagi dia mengikutinya dari awal hingga akhir, dari awal hingga akhir.
Sebab dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Dzar Al Ghifari radiyallahu anhu, nabi shalallahu alaihi wa salam mengatakan:
(مَنْ قَامَ مَعَ إِمَامِهِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ. (رواه أهل السنن
“Siapa saja yang shalat tarawih bersama imam hingga selesai, akan ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah)
Ini keutamaan yang didapatkan bagi seorang yang mengikuti imam dari awal hingga akhir, wallahu a’lam.
Apabila dia mengambil 11 rakaatnya saja ya sah saja, sah. Tidak mengapa, namun dia tidak mendapatkan keutamaan yang disebutkan oleh nabi shalallahu alaihi wa salam. Atau dia shalat di rumahnya, dia mengerjakan 11 rakaat. Adapun dia mengerjakan sebagian lalu kemudian witirnya dia mengerjakan di rumah dan tidak mengerjakannya bersama dengan imam, maka dia tidak mendapatkan keutamaan yang disebutkan oleh rasulullah shalallahu alaihi wa salam.
Download Audio disini


(777) views
Read More ->>

Fiqih

tauhid















Fatwa Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin:
Orang Yang Masuk Ke Dalam Khithab (Arah Pembicaraan) Perintah Dan Larangan Syariat
S: Siapakah yang masuk ke dalam arah khithab (pembicaraan) perintah dan larangan dalam syariat?
 
J: Orang yang masuk ke dalam khithab (arah pembicaraan) dengan perintah dan larangan adalah orang yang mukallaf, yaitu orang yang sudah baligh dan berakal.
- Keluar dari baligh: anak kecil. Anak kecil tidak diberi taklif (pembebanan) perintah dan larangan dengan taklif (pembebanan) yang sama dengan taklif (pembebanan) orang yang sudah baligh. Tetapi anak kecil diperintah dengan ibadah-ibadah setelah tamyiz sebagai latihan dia untuk taat dan dilarang dari maksiat-maksiat agar terbiasa menahan diri darinya.
- Keluar dari orang yang berakal: orang yang gila. Orang yang gila tidak diberi taklif perintah dan larangan. Namun dia dilarang dari perkara-perkara yang mengandung pelanggaran atau perusakan hak orang lain. Kalau dia melakukan perkara yang diperintahkan, maka perbuatan itu tidak sah darinya, karena tidak ada niat (al-qashdu) untuk melaksanakan perintah dari dia….
S : Maksud: “Keluar dari baligh: anak kecil. Anak kecil tidak diberi taklif (pembebanan) perintah dan larangan dengan taklif (pembebanan) yang sama dengan taklif (pembebanan) orang yang sudah baligh.”
 J : Perhatikan batasan ini: “Anak kecil tidak diberi taklif (pembebanan) perintah dan larangan dengan taklif (pembebanan) yang sama dengan taklif (pembebanan) orang yang sudah baligh.” Namun tetap diarahkan kepadanya perintah dan larangan. Kalau anak kecil itu ingin sholat, kita memerintahkannya untuk berwudhu. Tetapi perintah kita kepadanya untuk wudhu dan sholat tidak seperti perintah kita kepada orang yang sudah baligh. Demikian ini karena orang yang sudah baligh diperintah dengan cara ilzam (wajib), sedangkan anak kecil diperintahkan dengan cara istihbab (mustahab) dan tidak dengan cara ilzam (wajib). …
Perintah Dan Larangan Kepada Anak Kecil

 

      S: Maksud: “Tetapi anak kecil diperintah dengan ibadah-ibadah setelah tamyiz sebagai latihan dia untuk taat dan dilarang dari maksiat-maksiat agar terbiasa menahan diri darinya.”
      J: Kalau kita berkata kepada anak kecil: “Laksanakan shalat dhuhur!” Kemudian anak kecil itu berkata: “Ya.” Lalu dia keluar rumah dan pergi bermain bola dan tidak shalat. Kemudian dia datang untuk makan. Lalu kita tanya: “Apakah engkau telah shalat?” Dia menjawab: “Aku belum shalat.” Maka anak ini tidak berdosa. Namun kalau dia sudah baligh, dia berdosa. Jadi anak kecil tetap diiperintah tetapi tidak dengan perintah yang sama dengan perintah orang yang sudah baligh.
      Kita mengatakan kepada anak kecil itu: “Jangan engkau melakukan demikian dari perkara-perkara yang diharamkan.” Kemudian dia berkata: “Ya, insya Allah.” Kemudian dia keluar dan mendapati anak-anak kecil melakukannya, kemudian dia melakukannya juga. Setelah itu dia pulang. Kita bertanya kepadanya: “Apakah kamu melakukannya?” Dia menjawab: “Ya.” Maka perbuatannya ini tidak sama dengan perbuatan orang yang sudah baligh. Namun dia dilarang dari hal itu agar terbiasa menahan diri dari perkara yang haram.
Kewajiban yang berkaitan dengan harta pada anak kecil
      S: Penjelesan: “Anak kecil dan orang yang gila (tidak berakal) tidak diberi taklif kecuali dalam perkara-perkara maliyah (berkaitan dengan harta), seperti: zakat, nafaqah-nafaqah, jinayah, dan kafarah dalam perkara yang tidak disyaratkan padanya taklif.”
      J: Orang gila kalau mempunyai harta, maka padanya ada zakat menurut pendapat ahli ilmu yang rajih (rojih, kuat). Jika dia mempunyai kerabat yang fakir, maka wajib untuk memberi nafaqah mereka dari hartanya. Demikian juga anak kecil.
Jika ada orang yang berkata: Bagaimana kalian mewajibkan zakat pada harta anak kecil dan orang gila, dan mewajibkan nafaqah pada harta keduanya, padahal keduanya tidak mukallaf?
      Jawabnya: karena pewajiban hal ini dikaitkan dengan sebab tertentu, kapan didapati akan tegak hukum tersebut. Hal itu dilihat dari sisi sebab bukan dari sisi pelaku. Zakat dikaitkan dengan sebab tertentu di luar sifat yang ada pada seseorang, yaitu kepemilikan nishab (nisob), tanpa memandang kepada sang pemilik. Demikian juga nafaqah pada kerabat, istri, dan semisalnya dikaitkan dengan sebab pernikahan dan kekerabatan bersamaan dengan kekayaan. Jika didapati sebab ini, maka akan tegak hukum itu.
      Kemudian pewajiban itu berkaitan dengan harta. Oleh karena ini Allah berfirman:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka” (At-Taubah: 103)
      Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فأعلمهم أن الله افترض عليهم صدقة في أموالهم
“Beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat dalam harta-harta mereka.” (Muttafaqun ‘alaih)
      Maka zakat dan nafaqah itu secara asal adalah wajib pada harta. Oleh karena itu, tidak disyaratkan padanya taklif dari orang yang mempunyai harta….
Pahala Ibadah anak kecil
      S: Apakah anak kecil diberi pahala bila melakukan ibadah?
      J: Ya, dia diberi pahala atas ibadah itu. Maksudnya: dicatat kebaikan untuk anak kecil itu dan tidak dicatat kejelekan atas anak itu. Namun dia diberi pahala dengan pahala nafilah saja, tidak seperti pahala faridhah (fardhu, amalan wajib)…
Hukuman Kemasiatan Anak kecil
      S: Apakah anak kecil kalau berbuat zina atau liwath, dia dihukum bunuh?
      J: Tidak dibunuh, tetapi diberi hukuman ta’zir yang keras, agar dia berhenti dari hal ini. Namun dia tidak dibunuh….
Sahnya Shalat anak kecil
      S: Apakah sah shalat anak kecil?
      J: Ya, anak kecil sah shalat darinya….
Kewajiban wali terhadap anak kecil dari sisi asuhan (ri’ayah)
      S: Penjelasan: perintah kepada anak kecil dengan perkara wajib dan larangan kepadanya dari perkara yang haram.
      J: Di sisi kita ada dua perkara: khithab (arah pembicaraan) syariat adalah kepada wali. Maksudnya: Wajib walinya memerintahkan anak kecil secara wajib, namun berkaitan dengan anak kecil itu, tidak wajib bagi anak itu. Demikian juga wajib walinya untuk mencegahnya dari perkara yang haram secara wajib. 
      Maksudnya ini dari sisi ri’ayah (pengasuhan/pemeliharaan). Si wali itu akan ditanya tentang orang-orang yang di bawah ri’ayahnya. Akan tetapi anak kecil itu kalau melakukan perkara yang haram, dia diberi hukuman dengan hukuman yang berkaitan dengan orang yang sudah mukallaf.
Haji Anak kecil
      S: Kalau anak kecil itu melakukan ibadah haji, namun dia tidak menyempurnakannya sampai selesai?
      J: Dalam masalah itu ada dua pendapat:
      Pendapat kesatu: Perkara yang wajib untuk disempurnakan oleh orang mukallaf, juga wajib disempurnakan oleh selain mukallaf, seperti: haji. Ini pendapat kebanyakan ulama.
      Pendapat kedua: tidak wajib (untuk menyempurnakannya), meskipun dalam perkara yang mukallaf wajib menyempurnakannya. Maka tidak wajib bagi anak kecil (untuk menyempurnakannya). 
      Inilah madzhab Abu Hanifah rahimahullah. Pengarang Kitab Al-Furu’ cenderung kepada pendapat ini, akupun cenderung kepada pendapat ini dalam masalah haji. 
      Misalnya: anak kecil itu kalau dia merasa capek dari ihram haji, kemudian dia melepas baju ihram dan memakai baju biasa dan meninggalkan manasik haji dan keluar darinya, maka kita tidak mewajibkan dia untuk menyempurnakannya. Karena dia tidak termasuk mukallaf. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Diangkat pena dari tiga orang … diantaranya anak kecil sampai baligh.”
(Diterjemahkan dari Syarh Al-Ushul Min ‘Ilm Al-Ushul hal 149-158 -dengan penyesuaian-)
Batas Pembebanan Anak Kecil adalah ketika Baligh
Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam Majmu Fatawa beliau (10/371):
S: Pertanyaan dari A. M dari Riyadh. Dia bertanya: Apakah masa baligh itu dianggap sebagai batasan yang menyebabkan seorang anak dibebani untuk menunaikan sholat yang terluput darinya karena dia tidur atau meninggalkannya?
J: Kapanpun anak kecil lelaki dan perempuan mencapai usia baligh, maka dia wajib sholat, puasa ramadhan, haji serta umrah bila mampu. Dan dia berdosa jika meninggalkan hal itu dan melakukan kemaksiatan, karena keumuman dalil-dalil syar’i. 

Dan pembebanan (taklif) bisa terwujud dengan: 
1. menyempurnakan umur 15 tahun, 
2. atau dengan keluarnya air mani karena syahwat ketika tidur atau bangun, 
3. dan tumbuhnya bulu kemaluan sekitar kemaluan depan. 
Ditambah untuk anak perempuan dengan perkara yang keempat, yaitu darah haidh.
Selama anak lelaki atau anak perempuan belum mengalami slah satu dari perkara-perkara ini, maka dia tidaklah mukallaf. Akan tetapi diperintahkan untuk sholat ketika umur 7 tahun dan dipukul bila meninggalkan sholat pada umur 10 tahun. Juga diperintah untuk puasa romadhon. Dan didorong kepada kebaikan seperti membaca al-qur’an, sholat nafilah, haji, umroh, memperbanyak tasbih, tahlil, takbir dan tahmid.
Juga dilarang dari seluruh kemaksiatan, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: 
((مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِِالصَّلاَةِ لسَبْعٍ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ))
“Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat ketika berumur 7 tahun dan pukullah mereka pada umur 10 tahun, apabila mereka meninggalkannya. Dan pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud: Kitab Sholah 495 dan Ahmad 2/187)
Dan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari Al-Hasan bin ‘Ali rodhiyallahu ‘anhuma ketika dia makan kurma shodaqoh. Beliau berkata kepadanya:
“Tidakkah kamu tahu bahwa harta shodaqoh tidak halal bagi kita.” Kemudian beliau memerintahkan untuk menaruh kurma yang dia ambil. (HR. Al-Bukhari Kitab Az-Zakah 1414 dan Muslim Kitab Az-Zakah 1069)
Padahal Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal, umur Al-Hasan sekitar 7 tahun lebih satu bulan.
Sumber : bimbingan-islam


(61) views



Read More ->>

Text

Statistik

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Wikipedia

Hasil penelusuran

Followers

About Me

Pengikut

About Me

Entri Populer